Asal Usul Mitos anak pertama menikah dengan anak terakhir
Asal muasal mitos bahwa anak pertama menikah dengan anak terakhir sudah ada selama berabad-abad. Diyakini bahwa anak bungsu dalam sebuah keluarga, yang biasanya dibesarkan dengan karakter manja, akan merasa terhibur oleh anak tertua di keluarga lain karena merekalah yang paling dewasa dan bertanggung jawab di antara keduanya.
Ini dianggap menciptakan ikatan yang kuat dan membuat pasangan lebih mungkin untuk tetap bersama. Keyakinan bahwa kombinasi anak tertua dan bungsu dalam keluarga yang berbeda akan memberikan keseimbangan dan stabilitas dalam pernikahan, yang akan membuatnya lebih langgeng.
Umur Pernikahan yang Panjang
Mitos yang terakhir adalah umur pernikahan yang Panjang. Karena mitos-mitos yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pasangan ini dipercayai akan memiliki umur pernikahan yang panjang, bahkan banyak yang mempercayai bahwa mereka akan berpisah karena takdir atau kematian loh.
Nah, itu deretan mitos anak pertama menikah dengan anak terakhir yang dapat Viva berikan rangkumannya ke kamu. Apakah kamu salah satu yang mempercayainya?
2. Kehidupan Rumah Tangga Bahagia
Gagasan menikahkan anak tertua di satu keluarga dengan anak bungsu di keluarga lain telah ada selama berabad-abad – bahkan disebut sebagai ‘mitos anak pertama menikah dengan anak terakhir’.
Hal ini karena diyakini bahwa kombinasi dari dua tipe kepribadian yang berbeda membuat pernikahan yang ideal. Anak tertua sering terlihat dewasa, pekerja keras, dan bertanggung jawab, sedangkan anak bungsu sering terlihat manja, riang, dan kurang dewasa.
Terlepas dari mitosnya, ada banyak variabel berbeda yang perlu dipertimbangkan saat memilih pasangan, dan banyak variabel yang dapat menciptakan hubungan yang sukses dan tahan lama. Artikel ini akan mengeksplorasi mitos pernikahan anak pertama dan anak terakhir, serta variabel nyata yang membuat kemitraan yang sukses dan saling menguntungkan.
Mitos Anak Pertama Menikah dengan Anak Terakhir, Apakah Cocok?
Aspek mitos pernikahan anak pertama dan anak terakhir melibatkan pertimbangan karakter setiap orang dan bagaimana mereka bergaul satu sama lain.
Apakah mereka kompatibel dalam hal keyakinan dan pendapat mereka atau apakah mereka memiliki pandangan yang berbeda? Apakah mereka dapat bekerja sama dengan baik dalam pernikahan atau ada terlalu banyak konflik di antara mereka?
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan apakah pasangan tersebut dapat menangani tanggung jawab tambahan untuk memiliki anak dan tuntutan pernikahan. Pasangan tidak cukup bergaul dan memiliki minat yang sama, mereka juga harus bisa bekerja sama dan saling mendukung melalui suka duka kehidupan berumah tangga.
Laksana Mimi Lan Mintuna
Mimi lan Mintuna adalah binatang yang tidak pernah berpisah satu sama lain.
Sebab, sifatnya melekat dan tidak pernah berpisah.
Binatang tersebut dijadikan lambang bagi suami istri untuk selalu bersatu padu secara lahir dan batin.
Tujuannya, agar keduanya dapat hidup tenang, tenteram, dan selamat.
Pasangan suami istri yang menjalani kehidupan berumah tangga harus menerapkan asas setel kendho.
Asas tersebut adalah saling mengendalikan keinginan diri dan pasangan agar hubungan harmonis.
Keduanya merupakan tokoh fenomenal dalam cerita pewayangan yang hidupnya selalu rukun, tidak bertengkar ataupun berpisah.
Baca Juga: Cara Menghitung Hari Baik Pernikahan Menurut Primbon Jawa
Masyarakat Jawa secara umum menyebut setiap pasangan suami istri pasca pernikahan dengan istilah garwa (sigaraning nyawa).
Istilah ini dalam bahasa Indonesia diartikan pecahan atau setengahnya nyawa.
Adapun nyawa adalah sumber kehidupan.
Dalam berumah tangga, suami istri harus bersama-sama merasakan suka duka (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul).
Jika suami istri memahami peran mereka sebagai pasangan jiwa, mereka akan sukses menghadapi segala tantangan rumah tangga.
Moms, kehidupan berumah tangga secara umum tidak terlepas dari kecukupan sandang, pangan dan papan.
Kecukupan sandang, pangan, dan papan dianggap sebagai kebutuhan primer.
Secara kalkulatif, tiga kebutuhan primer di atas dapat tercukupi melalui pengelolaan ekonomi rumah tangga secara proporsional dan fungsional (gemi nastiti).
Karakter pemboros yang berbelanja tanpa mempertimbangkan kondisi bertentangan dengan prinsip hidup Jawa yang dikenal sebagai gemi nastiti.
Semakin terkelola dalam mencari dan mengatur keuangan dalam rumah tangga, seseorang akan semakin bahagia.
Perihal ini selaras dengan ajaran Asthagina yang berisi delapan kegunaan yang harus diperhatikan dalam kehidupan berumah tangga di antaranya:
Anak Pertama Menikah dengan Anak Terakhir
Foto: Pernikahan Adat Jawa (Orami Photo Stock)
Dilansir dari Journal Law and Family Studies Al Syakkhiyyah, berikut ini cara mencapai keluarga impian anak pertama menikah dengan anak terakhir menurut adat Jawa:
Mikul Dhuwur Mendhem Jero
Anak pertama menikah dengan anak terakhir selanjutnya adalah mikul dhuwur mendhem jero.
Mikul dhuwur mendhem jero adalah sikap seorang anak untuk menjunjung tinggi kehormatan kedua orang tua.
Caranya adalah dengan menyimpan aib serta kekurangan orang tua sebaik mungkin, sekaligus mengharumkan jasa orang tua.
Selain diwajibkan bagi setiap anak, sikap ini secara khusus juga harus dilakukan suami-istri dalam keluarga.
Artinya, seorang suami harus menutup rapat-rapat aib, kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh istri.
Caranya dengan menampilkan kelebihan, keunggulan, serta kehebatan yang dimilikinya.
Begitu pula sebaliknya sikap istri terhadap suami harus mikul dhuwur mendhem jero.
Dengan begitu, perjalanan rumah tangga membuat keluarga harmonis secara lahir maupun batin.
Pasang sumeh njroning ati berarti suami dan istri dalam menjalankan kehidupan rumah tangga harus...
Moms, Anak pertama menikah dengan anak terakhir mitosnya tidak akan langgeng.
Bahkan, baiknya untuk tidak menikah. Namun, benarkah demikian?
Menurut kepercayaan Jawa, terdapat sebuah mitos yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat.
Kepercayaan itu berupa pernikahan "tumbu ketemu tutup" yaitu pernikahan anak pertama dengan anak terakhir.
Ada juga yang menyebutkan sebagai perkawinan yang kedua mempelainya dianggap serasi, cocok dan pas.
Serasi di sini dalam artian karakter gaya hidup, misal serasi, rajin dengan rajin.
Dilansir dari UIN Satu Tulungagung Institutional Repository, kepercayaan ini sudah ada sejak zaman dahulu.
Bahkan, dalam karya-karya Sultan Agung, sang raja Jawa yang mengembangkan primbon, neton, dan perjodohan, istilah “tumbu ketemu tutup” tercatat di dalamnya.
Istilah tersebut mengandung makna yang sama, serasi, cocok.
Semisal orang yang hemat menikah dengan orang yang sama hematnya juga, atau orang yang pekerja keras menikah dengan orang yang sama pekerja keras juga.
Pasangan suami istri yang menikah dan dijuluki “Tumbu ketemu tutup” merupakan mereka yang dalam banyak sisi memiliki kecocokan.
Ibarat timbangan, keduanya bernilai sama, tidak berat ataupun ringan sebelah.
Tidak diketahui secara pasti darimana asal mula istilah “tumbu ketemu tutup”, lho Moms.
Namun, istilah "tumbu ketemu tutup" ini terjadi karena adat kebiasaan masyarakat itu sendiri dan mengalir begitu saja menjadi sebuah peribahasa atau ungkapan.
Dari turun temurun sudah ada istilah tersebut, dan itu menjadi kebiasaan orang jawa.
Baca Juga: Begini Cara Menghitung Weton Jawa untuk Pernikahan, Calon Pengantin Wajib Tahu!
Tantangan yang Dihadapi Pernikahan Anak Bungsu dengan Anak Sulung
Tantangan yang dihadapi serikat ini adalah bahwa kedua individu tersebut berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda dan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga sulit untuk membentuk ikatan yang kuat.
Selain itu, anak pertama mungkin memiliki sikap yang lebih bertanggung jawab dan dewasa, sedangkan anak terakhir mungkin lebih riang dan kurang menghargai keseriusan persatuan.
Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dan kurangnya saling pengertian. Selain itu, anak pertama mungkin dibesarkan dalam lingkungan yang lebih tradisional, sedangkan anak terakhir mengalami pengasuhan yang lebih modern, yang mungkin sulit untuk didamaikan.
Terakhir, perbedaan usia antara kedua pasangan juga dapat menjadi tantangan, karena hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam komunikasi dan pemahaman.
Cara Menghadapi Situasi Ini
Jika berbicara mengenai mitos anak pertama menikah dengan anak terakhir dari keluarga yang berbeda, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan. Jika Anda adalah anak pertama atau terakhir, penting untuk diingat bahwa pernikahan harus didasarkan pada cinta dan rasa hormat, bukan hanya untuk memenuhi cita-cita mitos. Anda harus meluangkan waktu untuk mengenal orang lain, serta keluarganya, sebelum memutuskan untuk menikah.
Penting juga untuk diingat bahwa meskipun pernikahan ini mungkin terlihat ideal, itu tetap sulit dan menantang. Penting untuk menyadari potensi masalah yang mungkin timbul dan untuk berkomunikasi dan mengatasinya bersama. Pada akhirnya, keputusan harus didasarkan pada apa yang terbaik bagi kedua orang yang terlibat, bukan hanya pada cita-cita mitos.
Kesimpulannya, mitos pernikahan ideal antara anak pertama dan terakhir dalam keluarga yang berbeda merupakan gagasan yang bertahan lama. Terlepas dari kenyataan bahwa kehidupan modern telah berubah secara signifikan, mitos ini tetap memiliki kekuatannya. Itu mencerminkan gagasan bahwa hal-hal yang berlawanan menarik dan kombinasi dari dua kepribadian yang berbeda dapat menciptakan pernikahan yang sukses dan harmonis. Pada akhirnya, terserah masing-masing pasangan untuk memutuskan apakah mitos ini berhasil atau tidak.
Mitos Anak Ketiga Menikah dengan Anak Ketiga, Pernikahan pasti Hancur?
Parents Perlu Tahu! Ini 5 Mitos Pernikahan yang Menjebak dan Tidak Tepat
Mengulik Mitos Pernikahan Jawa dan Sunda yang Melegenda
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.